JAKARTA, Lidikcyber.com – Dalam penyelesaian tindak pidana, tak semua perkara harus berakhir dengan hukuman kurungan penjara. Namun, bisa juga diselesaikan dengan jalur restorative justice. Jaksa Agung, ST Burhanuddin mengatakan terkadang jalur peradilan melenceng dari tujuan hukum maupun rasa keadilan yang berkembang di masyarakat. Seperti pola pidana yang masih bersifat pembalasan. “Terjadinya penumpukan perkara dan sudah berlarut-larut, kurang memperhatikan hak-hak korban dengan mengabaikan asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan,” ujar Burhanuddin dalam webinar bertajuk Tujuan, Implementasi, Problematika Penerapan Restorative Justice dalam Penegakan Hukum Pidana di Indonesia, yang diselenggarakan oleh IKAFH UNDIP, Sabtu 20 Februari 2021. Penyelesaian yang kaku, menurutnya tidak memulihkan dampak kejahatan dan tidak mencerminkan keadilan bagi masyarakat. Padahal, kata dia, hukum dibuat pada hakekatnya bertujuan untuk memberikan keadilan dan kemanfaatan bagi manusia. “Dalam hal ini Indonesia, hal tersebut tercermin dalam nilai-nilai Pancasila, serta berkaitan dengan nilai-nilai kemanusiaan, musyawarah, serta keadilan sosial,” katanya. Melihat berbagai perkembangan hukum, sambungnya, muncul sebuah konsep baru yaitu keadilan restoratif. “Istilah restorative sendiri diangkat ke permukaan yaitu pada tahun 1977, sebagai sila terbesar perkara yang mulanya dilakukan di Amerika. Untuk mediasi antara pihak korban dan pelaku dalam kasus pidana,” ujarnya. Burhanuddin mengatakan di Indonesia, restorative justice dapat dijumpai, di dalam Undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan tindak pidana pada anak. “Yang menyebutkan bahwa keadilan restoratif adalah penyesuaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga korban, keluarga pelaku, dan lain terkait. Yang dengan bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan bukti pembalasan,” lanjutnya. Ada lima prinsip keadilan restoratif yang disebut dengan “five principles of restorative justice.” Prinsip yang pertama, masih kata Jaksa Agung, adalah prinsip yang menekankan terhadap bahaya dan konsekuensi yang ditimbulkan oleh tindak pidana. Baik pada korban masyarakat dan kepada pelakunya. Kedua adalah prinsip-prinsip yang menekankan pada perlindungan terhadap tempat dari tindak pidana yang terjadi. Mulai dari keluarga korban, pelaku, dan masyarakat sekitar. Prinsip yang ketiga adalah prinsip yang menekankan terhadap proses kolaboratif yang impuls. Selanjutnya, keempat adalah prinsip yang melibatkan para pihak tertentu dalam kasus-kasus tertentu. “Seperti, pelaku, korban, keluarga, komunitas masyarakat yang dianggap secara sah dapat terlibat di dalamnya. Yang kelima adalah prinsip memperbaiki kesalahan,” lanjutnya. Untuk itu, Burhanuddin mengatakan bahwa kejaksaan sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakan perintah negara. Yaitu dalam bidang penuntutan, harus perlu mewujudkan kepastian, ketertiban, keadilan, dan kebenaran berdasarkan hukum. “Serta norma-norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan, dengan tetap wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan hukum dan keadilan yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat,” katanya. Dalam kesempatan yang sama, Ketua Mahkamah Agung (MA) RI, M. Syarifuddin mengatakan bahwa pihaknya telah melaksanakan dan memulai langkah-langkah penting.
Yaitu untuk memenuhi asas keadilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan melalui penerapan restorative justice di lingkungan peradilan. Namun, Mahkamah Agung milih untuk tidak masuk terlalu jauh dalam perdebatan wilayah wacana “apakah restorative justice harus dipandang sebagai alternatif independen atau sebagai pelengkap bagi sistem peradilan tindak pidana. “Sebagaimana preposisi yang dikemukakan oleh George Pavlich dalam buku Governing Paradoxes of Restorative Justice, lembaga peradilan, Mahkamah Agung, serta lembaga peradilan di bawahnya berbicara melalui keputusan dan kebijakan institusional,” ujar Syarifuddin. Ia pun mengajak masyarakat untuk memahami tentang konsep restorative justice yang secara tagas diatur dalam peraturan perundang-undangan. Menurutnya, hal itu hanyalah perihal diversi bagi anak yang berkonflik denga hukum. Sebagaimana diatur dalam UU nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan tindak pidana anak. Kemudian ditindaklanjuti dengan peraturan pemerintah negara republik Indonesia nomor 65 tahun 2015 tentang pedoman pelaksanaan diversi dan penanganan anak yang belum berumur 12 tahun. Selanjutnya, diatur juga dalam peraturan Mahkamah Agung nomor 4 tahun 2014 tentang pedoman pelaksanaan diversi dalam sistem peradilan pidana anak. “PERMA tersebut merupakan bentuk nyata Mahkamah Agung dalam mendorong penerapan restorative justice melalui mekanisme diversi, sebagaimana diamanatkan dalam UU nomor 11 tahun 2012,” katanya. Syarifuddin pun mengungkapkan data terkait denga diversi yang telah dihimpun oleh Kepaniteraan MA pada tahun 2019. Yaitu tercatat ada 1052 perkara diversi di lingkungan peradilan umum dan tiga perkara diversi dalam peradilan agama. “Di tahun 2019 tersebut 264 perkara berhasil dilaksanakan diversi, dan 350 tidak berhasil, dan 441 dalam proses. Sedangkan di tahun 2020, terdapat 132 perkara diversi, 24 diantaranya berhasil, 25 tidak berhasil, dan 83 sedang dalam proses,” lanjutnya. Namun, kata dia, yang harus diingat bahwa prinsip diversi dalam UU nomor 11 tahun 2012 maupun PERMA no 4 tahun 2014, dikhususkan pada perkara anak. “Lalu timbul pertanyaan, apakah dalam perkara yang timbul selain pada anak dapat pula diterapkan perdamaian atau penyelesaian secara restorative justice?” tanya dia. Dari pertanyaan tersebut, ia mengatakan bahwa ada yang perlu dipahami. “Bahwa apabila sebuah perkara pidana merupakan delik aduan, maka perdamaian antara korban dan pelaku dapat dilakukan dan dapat diterima sebagai alasan pemaaf,” katanya. “Yang dapat mengakhiri perkara jika dilakukan pencabutan dalam tenggang waktu tertentu. Secara umum diatur dalam pasal 75 KUHP dan pasal-pasal tertentu dalam KUHP,” sambungnya. Ketua MA itu mengatakan, jika pencabutan dilakukan setelah melampaui tenggang waktu, pencabutan pengaduan tidak dapat mengakhiri perkara. “Tetapi dapat dipertimbangkan sebagai hal-hal yang meringankan dalam penjatuhan pidana,” lanjutnya. Sementara bagi delik biasa, kata dia, perdamaian antara pelaku dan korban termasuk yang dianjurkan menurut ajaran agama maupun kearifan lokal, seperti tradisi bakar batu di Papua. “Maka perdamaian dalam perkara tersebut tetap diutamakan untuk dilakukan, dan dapat dilakukan oleh hakim untuk meringankan dalam penjatuhan pidana,” ujar Syarifuddin.(@ndi/hg)