Hasil Temuan BPK, Kejati Aceh mulai Sidik DKP Aceh

0 0
Read Time:3 Minute, 23 Second

Lidikcyber.com – Landasannya jelas, hasil temuan BPK RI, terkait anggaran belanja hibah dan material tahun 2019, Rp 196 miliar lebih. Lantas, kenapa Kepala DKP Aceh saat itu Dr. Ilyas tak menjawab dan memberi tanggapan. Memilih diam alias bungkam. Akibatnya, tak ada keterangan yang bisa diperoleh dari Plt Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh, Aliman. Padahal, beredar kabar, Senin kemarin, dia dipanggil penyidik Kejaksaan Tinggi Aceh. Bisa jadi, ini bukan panggilan biasa.

Tapi, diduga terkait indikasi penyimpangan anggaran hibah dan anggaran gedung beku atau Cold Storage pada dinas basah tersebut. Selain dia, penyidik juga memanggil seorang staf berinisial S, yang juga PPTK Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh. Sasarannya jelas, dimintai keterangan prihal belanja hibah dan material tahun 2019, Rp196 miliar. Sebelumnya, Jumat, 24 Juli 2020 lalu, Kejaksan Tinggi Aceh juga telah memanggil Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh untuk dimintai keterangannya terkait kasus tesebut. Ini berdasarkan surat nomor: SP-172/1.1.5/Fd.1/07/2020 yang ditandatangani Asisten Tindak Pidana Khusus Kejati Aceh, R. Raharjo Yusuf Wibisono. Saat itu, Kadis DKP Aceh juga diminta membawa dokumen-dokumen yang menyangkut dengan dua kasus tadi. Kepada awak media Kasipenkum Kejati Aceh, Munawal Hadi membenarkan adanya pemanggilan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh, menghadap jaksa untuk dimintai keterangannya. “Benar, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh dipanggil menjumpai jaksa untuk dimintai keterangan prihal penyimpangan anggaran hibah,” kata Munawal singkat.

Tapi, terkait pemanggilan Aliman kemarin, Munawal mengaku belum mendapat informasi. “Sebentar saya konfirmasi dulu, nanti saya kabarkan,” katanya, Selasa sore. Namun, hingga petang ini, Munawal belum menjawab konfirmasi wartawan. Tak ada asap bila tidak ada api. Kasus ini berawal dari hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI. Hasilnya, ditemukan adanya sejumlah bantuan hibah pada Dinas Kelautan Aceh (DKP) Aceh, tanpa pertanggungjawawaban dan didukung proposal atau usulan dari DKP kabupaten/kota. Tragisnya, BPK menemukan belanja bahan atau material berupa pemberian bantuan kepada kelompok masyarakat yang telah memenuhi kritetia penerima hibah. Ironisnya, kegiatan tersebut tidak dianggarkan dalam belanja hibah barang yang akan diserahkan kepada pihak ketiga atau masyarakat. Menurut BPK, DKP Aceh menganggarkan belanja hibah dan material tahun 2019, Rp 196 miliar lebih dan terealisasi Rp 149 miliar lebih atau 75,83 persen. Itu sebabnya, berdasarkan Pelaksanaan dan Perubahan Anggaran (DPPA) serta dokumen pertanggungjawaban secara uji petik diketahui.

Realisasi belanja tersebut, diantaranya untuk bantuan bibit, pakan ikan, obat-obatan dan sarana dan prasarana kepada kelompok masyarakat dan Balai Benih Ikan (BBI) meruoakan milik kabupaten/kota. Temuan lain, setelah BPK melakukan uji petik terhadap realisasi anggaran belanja bahan material. Ternyata ada terselip kegiatan belanja bibit ikan Rp115 miliar, belanja pakan ternak Rp3,9 miliar serta belanja bahan kelengkapan lapangan Rp22 miliar, dengan total keseluhan yakni Rp141,2 miliar. Untuk memastikan kebenaran temuan tadi, BPK RI Perwakilan Aceh kemudian mengirimkan surat konfirmasi kepada Kepala DKP Aceh. Isinya, penyampaian kuesioner belanja barang dan jasa. Namun, entah merasa tak bermasalah atau ada “orang kuat” dibelakangnya, Kadis DKP Aceh saat itu Dr. Ilyas tidak mau menanggali konfirmasi BPK sampai dengan berakhinya pemeriksaan. Tapi, BPK punya segudang dokumen. Fakta dan datanya, mayoritas bantuan DKP Aceh diberikan kepada kelompok masyarakat yang penetapannya bersumber dari Keputusan Gubernur tentang Penetapan Kawasan Unggulan Kelautan dan Perikanan Aceh. Padahal menurut BPK, Keputusan Gubernur tersebut hanya menetapkan kawasan unggulan kelautan dan perikanan Aceh, sedangkan penerima manfaat yang akan diberikan bantuan pada tahun 2019, tidak ditetapkan dalam Keputusan Gubernur tersebut.

Inilah yang jadi masalah. Selain itu, BPK juga sudah memeriksa sejumlah dokumen pertanggungjawaban secara uji petik pada beberapa kegiatan. Ternyata, berdasarkan ketentuan dalam vPermendagri Nomor 32 tahun 2011, tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial besumber dari APBD beserta perubahannya, termasuk Peraturan Gubernur tentang Belanja Hibah dan Belanja Bantuan Sosial yang bersumber dari APBA. BPK berkesimpulan; kegiatan pemberian bantuan tersebut belum tepat. Alasan BPK, pemberian bantuan di DKP Aceh belum tepat dikarenakan pemberian bantuan kepada kelompok masyarakat tidak dianggarkan pada belanja barang dan jasa. Selain itu, tidak seluruh pertanggungjawaban didukung pertanggungjawaban dengan proposal atau usulan dari DKP kabupaten/kota. Nah, yang jadi masalah adalah, mengapa Plt Kepala DKP Aceh Aliman memilih bungkam? Sepertinya misteri inilah yang perlu diungkap penyidik Kejaksaan Tinggi Aceh.(@ndi/dir)

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You cannot copy content of this page