Lidikcyber,Jakarta. – Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Maruf Amin telah menginjak dua tahun memimpin. Hingga saat ini, ditengah pandemi Covid-19, Ekonom menyoroti tentang tingkat ketimpangan ekonomi yang terjadi dan bengkaknya utang pemerintah.
Hal itu disampaikan oleh Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira membeberkan beberapa catatan mengenai perjalanan kepemimpinan Jokowi. Salah satu yang disoroti adalah soal ketimpangan ekonomi yang terus meningkat, yakni banyaknya orang kaya dan bertambahnya jumlah pengangguran.
“Selain dari dampak pandemi, ini juga dampak dari banyak kebijakan-kebijakan justru melanggengkan ketimpangan tadi, misalnya obral insentif yang tidak tepat sasaran,” katanya, Kamis (21/10/2021).
Kemudian Bhima mengatakan, pada beberapa kebijakan perlindungan sosial yang terlambat diberikan pemerintah selama pandemi juga berpengaruh terhadap lebarnya jurang ketimpangan tersebut.
Kemudian juga beberapa kebijakan perlindungan sosial yang terlambat diberikan selama masa pandemi itu juga berpengaruh.
“Jadi jumlah orang kaya naik hingga 65 ribu orang kaya baru, tingkat gini rasio khususnya di perkotaan mencapai 0,4. Jadi ini satu hal yang perlu diwaspadai karena ketimpangan yang terlalu lebar sehingga sangat mengganggu stabilitas ekonomi dan politik dalam jangka waktu yang cukup panjang,” tuturnya.
Kemudian, Bhima juga menyoroti terkait penambahan utang yang dilakukan secara agresif sehingga peningkatan rasio utang tidak dibarengi dengan belanja yang sifatnya produktif oleh pemerintah. Misalnya belanja pegawai dan belanja barang yang terjadi kenaikan cukup tinggi.Menurut catatannya, akhirnya penambahan utang secara agresif bakal menjadi beban bagi pemerintahan berikutnya ataupun generasi selanjutnya.
“Terhitung per penduduk itu sekarang menanggung 24 juta rupiah utang pemerintah, ini yang perlu diwaspadai,” katanya.
Berikutnya lagi, soal prioritas pembangunan infrastruktur yang tak tepat sasaran, justru selama pandemi beberapa infrastruktur yang seharusnya ditunda dan alokasi anggarannya diberikan untuk penanganan pandemi justru yang terjadi pemerintah terus mendorong alokasi belanja untuk infrastruktur.
“Bahkan ada penjaminan kereta cepat Jakarta-Bandung yang tadinya seharusnya dilakukan secara business to business. Jadi itu yang menjadi salah satu catatan dan untuk makro ekonominya, pertumbuhan ekonominya, Itu jadi tidak pasti ya,” tuturnya.
“Karena pemulihannya menjadi tidak solid karena pada kuartal kedua pemerintah buru-buru pelonggaran ekonomi, sehingga di kuartal kedua ekonominya tumbuh 7 persen, tapi setelah itu muncul gelombang kedua penularan covid yang mengakibatkan pertumbuhan ekonomi menjadi tumbuh rendah,” tambahnya.
Lebih lanjut, Bhima menyoroti bahwa pertumbuhan ekonomi memiliki korelasi kuat dengan kemampuan pemerintah dalam melakukan penanganan pandemi. Ia menilai kalau bisa lebih serius menangani, pertumbuhan ekonomi akan lebih solid sehingga jika sudah tumbuh sekitar 7 persen bisa bertahan di kisaran yang sama.
Ia menilai ada pola koordinasi yang perlu diperbaiki, Bhima melihat koordinasi kebijakan ekonomi jadi tidak jelas karena peran-peran yang seharusnya diisi oleh kementerian koordinator bidang perekonomian justru diambil kementerian lain.
“Jadi ada koordinasi yang membuat kebingungan di level daerah misal soal pencairan anggaran secara tepat waktu. Dan berikutnya ternyata 2 tahun ini kita disibukkan juga oleh permasalahan serius soal validitas dan integrasi data ini membuat program pemerintah dengan alokasi anggaran besar tapi efektivitasnya tidak optimal karena masih harus membenahi soal data terpadu,” katanya.(@ndi/hg)