Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021, Berpotensi Berzina di Kampus Dianggal Legal.

0 0
Read Time:3 Minute, 49 Second
Lidikcyber,Jakarta. – Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi tengah menjadi sorotan karena dianggap melegalkan berzina di kampus.

Dalam aturan Permendikbudristek itu, praktik perzinaan dan seks bebas seakan-akan diperbolehkan dan diizinkan atas persetujuan korban. Hal tersebut sama saja menyatakan bahwa berzina di kampus kalau atas dasar suka sama suka itu diperbolehkan.
Pelaksana tugas (Plt) Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Nizam membantah anggapan yang mengatakan aturan ini dapat melegalkan praktik perzinaan di kampus. Ia menegaskan bahawa anggapan tersebut timbul karena kesalahan persepsi atau sudut pandang.
“Tidak ada satu pun kata dalam Permen PPKS ini yang menunjukkan bahwa Kemendikbudristek memperbolehkan perzinaan. Tajuk diawal Permendikbudristek ini adalah ‘pencegahan’, bukan ‘pelegalan’,” tegas Nizam.

Nizam juga menggaris bawahi fokus Permendikbudristek PPKS. Di mana aturan itu hanya menyoroti pencegahan dan penindakan praktik kekerasan seksual di kampus.
Isi Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 yang Dituding Bikin Berzina di Kampus Boleh Dilakukan Dalam Pasal 1 Permendikbud Ristek Nomor 30 Dijelaskan bahwa:
1. Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.Adapun dalam Pasal 5 dijelaskan bahwa:
2. Kekerasan Seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi.
Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a) menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender Korban;
b) memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan Korban;
c) menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada Korban;
d) menatap Korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman;
e) mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada Korban meskipun sudah dilarang Korban;
f) mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
g) mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
h) menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
i) mengintip atau dengan sengaja melihat Korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi;
j) membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban;
k) memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual;
l) menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban;
m) membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban;
n) memaksa Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual;
o) mempraktikkan budaya komunitas Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan yang bernuansa Kekerasan Seksual;
p) melakukan percobaan perkosaan, namun penetrasi tidak terjadi;
q) melakukan perkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain alat kelamin;
r) memaksa atau memperdayai Korban untuk melakukan aborsi;
s) memaksa atau memperdayai Korban untuk hamil;
t) membiarkan terjadinya Kekerasan Seksual dengan sengaja; dan/atau
u) melakukan perbuatan Kekerasan Seksual lainnya.
3. Persetujuan Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf f, huruf g, huruf h, huruf l, dan huruf m, dianggap tidak sah dalam hal Korban:
memiliki usia belum dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
mengalami situasi dimana pelaku mengancam, memaksa, dan/atau menyalahgunakan kedudukannya;
mengalami kondisi di bawah pengaruh obat-obatan, alkohol, dan/atau narkoba;
mengalami sakit, tidak sadar, atau tertidur;
memiliki kondisi fisik dan/atau psikologis yang rentan;
mengalami kelumpuhan sementara (tonic immobility); dan/atau mengalami kondisi terguncang.

Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PKS, Fahmy Alaydroes menilai Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 mengakomodasi pembiaran praktik perzinaan dan hubungan seksual sesama jenis.
Menurut Fahmy, peraturan tersebut hanya berlaku apabila timbulnya korban akibat paksaan, atau melakukan interaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh korban.
“Peraturan ini membiarkan, mengabaikan, dan menganggap normal. Bahkan, peraturan ini dapat ditafsirkan sebagai bentuk ‘legalisasi’ perbuatan asusila seksual yang dilakukan tanpa paksaan (suka sama suka) di kalangan perguruan tinggi,” kata Fahmy dalam keterangan tertulis pada Selasa, 09 November.
Sementara itu, Ketua Komisi X DPR, Syaiful Huda mengusulkan Mendikbud-Ristek Nadiem Makarim melakukan revisi terbatas sebagian substansi dari Permendikbud 30/2021 khususnya klaster definisi kekerasan seksual. Huda mengakui jika definisi kekerasan seksual dalam Permendikbud 30/2021 bisa memicu multitafsir.
Sejauh pengamatan dari berbagai media, isi Permendikbudristek memang telah menciptakan multitafsir yang membuat berbagai pihak kelimpungan. Baik dari berbagai politisi maupu netizen dapat dikatakan meminta Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 untuk dikaji dan direvisi ulang.(@ndi/hg)

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You cannot copy content of this page