Pada Rabu (17/11) kemarin, tiga dari lima oknum polisi tersebut menjalani sidang agenda saksi di ruang Cakra 3 Pengadilan Negeri Medan. Ketiga oknum polisi tersebut dijerat dengan pasal 112 UU no 35 tentang narkotika yang antara lain adalah Aipda Matredy Naibaho, Iptu Toto Hartono dan Bripka Ricardo. Ketiga terdakwa kedapatan memiliki sejumlah barang haram narkoba dengan beragam jenis yang disimpan dalam tasnya masing-masing.
Berawal dari pemeriksaan yang dilakukan oleh Divpropam Presisi Mabes Polri pada Kamis (17/06) terhadap ke empat oknum polisi anggota Satresnarkoba yang saat itu bersama-sama berada didalam mobil opsnal jenis Toyota Kijang Innova Reborn berwarna hitam. Hasil dari pemeriksaan terhadap ke empat oknum polisi tersebut, Divpropam akhirnya menemukan sejumlah narkoba dari dalam tas yang dimiliki oleh dua orang oknum polisi.
Menurut sumber yang tak ingin namanya disebutkan dalam media ini mengatakan bahwa saat itu Divpropam menemukan narkoba berjenis ganja kering seberat 2,93 gram dan sabu seberat 0,07 gram serta sebutir pil Happy Five dari dalam tas Aipda Matredy Naibaho. Lalu Divpropam Presisi Mabes Polri juga menemukan sebutir pil ekstasi dari dalam tas Bripka Ricardo.
Hari kedua pemeriksaan, tepatnya pada Jumat (18/06) Divpropam Mabes Polri dan Biro Paminal Polrestabes Medan memeriksa kenderaan milik Iptu Toto Hartono yang terparkir di posko Unit II di Jalan Sei Batang Serangan 15 Medan Baru. Dari dalam tas yang berada di dalam mobil sedan Mazda abu-abu milik Iptu Toto Hartono, Divpropam Mabes Polri dan Biro Paminal Polrestabes menemukan narkoba jenis sabu seberat 3 gram beserta 2 butir pil Happy Five.
Awalnya ke tiga oknum polisi tersebut berdalih bahwa narkoba yang mereka miliki adalah barang undercoverby untuk mendukung operasi penangkapan bandar narkoba. Namun ketiganya tak dapat menunjukkan bukti kepemilikan undercoverby narkoba secara sah yang biasanya dikeluarkan oleh Kasat maupun Kanit Narkoba Polrestabes Medan.
Saat itu ketiga terdakwa sempat memohon kepada Kompol Oloan Siahaan yang menjabat sebagai Kasat Res Narkoba Polrestabes Medan agar bersedia mengeluarkan dan memberikan keterangan atau izin kepemilikan undercoverby, namun sang Kasat menolak untuk memberikan surat izin yang sah kepada ketiga terdakwa. Sebab ketiga terdakwa tidak pernah melaporkan atau meregistrasikan bahan undercoverby tersebut kepada Kasat Resnarkoba maupun pihak berkompeten yang mengurusi masalah itu.
Ketiga terdakwa juga berusaha memohon agar mendapatkan surat keterangan sah atas kepemilikan undercoverby kepada Kanit I Satresnarkoba AKP Paul Simamora, namun dengan alasan yang sama dengan Kasat Res Narkoba, AKP Paul Simamora juga enggan memberikan surat izin atau keterangan sah atas bahan undercoverby sebagaimana yang dimaksud oleh ketiga terdakwa
Kemudian beragam jenis narkoba tersebut dan ketiga oknum polisi diserahkan oleh Divpropam Mabes Polri ke Direktorat Narkoba Polda Sumut untuk menindaklanjuti kepemilikan narkoba tanpa izin yang sah sebagaimana yang terkandung dalam pasal 112 ayat 1 UU no 35 terkait narkotika.
Sidang agenda saksi pada Rabu (17/11) kemarin, JPU menghadirkan sejumlah saksi yang terdiri dari personil Divpropam Presisi dan personil Biro Paminal Polrestabes Medan untuk dimintai keterangannya. Amatan awak media dilapangan saat itu Iptu Toto Hartono dan Aipda Matredy Naibaho menjalani persidangan agenda saksi atas dakwaan pelanggaran pasal 112 ayat 1 UU no 35 terkait narkotika yang disidangkan oleh JPU Randy H Tambunan dan majelis hakim yang diketuai Jarihat Simarmata,SH.
Namun anehnya Bripka Ricardo menjalani sidang dengan hakim berbeda atau majelis sendiri, dan hakimnya adalah Ulina Marbun, SH. Hal ini menjadi sebuah pemandangan aneh dan memicu sejumlah pertanyaan dari awak media, namun seusai sidang Ulina Marbun, SH enggan menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh wartawan seraya berlalu dari ruang persidangan.
Menanggapi hal ini Praktisi hukum Robi Anugrah Marpaung, SH.MH di Jakarta pada Jumat (19/11) via selulernya kepada wartawan mengatakan, terdapat sebuah kejanggalan atas proses persidangan terpisah antara ketiga terdakwa. Menurutnya pemisahan majelis hakim dalam persidangan sebuah perkara yang sama, akan mengaburkan kepastian hukum terhadap ketiga terdakwa. Persidangan dengan majelis terpisah tersebut dapat memicu terjadinya rivalitas putusan antara satu majelis dengan majelis lainnya.
“Saya melihat ada kejanggalan dalam pemisahan majelis yang menyidangkan perkara ketiga terdakwa yang dijerat dengan pasal 112 UU no 35 tentang narkotika yang digelar di PN Medan kemarin. Hal ini tentunya menjadi perhatian bagi kami selaku praktisi hukum, dan wajar untuk dipertanyakan, mengapa harus ada pemisahan majelis hakim? padahal faktanya Aipda Matredy Naibaho dan Bripka Ricardo diperiksa dan didapati menguasai narkoba di TKP dan hari yang sama”, ujarnya.
” Ketua Pengadilan Negeri Medan adalah pejabat yang memiliki wewenang dalam mengatur semua itu. Sehingga kita dapat menanyakan kepada beliau tentang pemisahan majelis hakim yang menangani perkara ini. Kita gak ingin ada upaya dan usaha dari terdakwa yang mengarah kepada intervensi maupun gugurnya jeratan pasal yang didakwakan kepada mereka”, jelasnya.
“Jika pemisahan majelis antara satu perkara dengan perkara lainnya yang tidak saling berkaitan peristiwa hukumnya, itu adalah hal yang wajar. Namun jika dalam satu perkara yang sama peristiwa hukumnya, lalu terjadi pemisahan majelis persidangan perkara itu, maka dikhawatirkan akan mempengaruhi putusan. Bisa saja terjadi rivalitas putusan yang menyebabkan ketidakpastian hukum atas perkara tersebut. Lalu akan berdampak pada ketidakpuasan para terdakwa yang merasa dirugikan akibat pemisahan tersebut”, ungkapnya.
Robi Anugrah menambahkan bahwa sebagai praktisi hukum dirinya sangat berharap kepada hakim agar tak ragu menjatuhkan hukuman semaksimal mungkin terhadap ketiga terdakwa yang telah melakukan kejahatan serius terkait kepemilikan dan penguasaan narkoba tersebut.
” Seyogyanya hakim harus lebih jeli melihat perkara ini dari aspek siapa yang menjadi pelakunya. Mereka (terdakwa-red) adalah personil penegak hukum yang seharusnya menjadi teladan dan terdepan dalam pemberantasan narkoba, bukan malah menjadi pelaku yang menguasai dan memiliki narkoba, bisa gawat negeri ini karena kejahatan yang dilakukan oleh oknum nakal seperti mereka”, tambahnya.
” Kita sangat mendorong agar melalui putusan yang ditetapkan oleh hakim nantinya akan berimplementasi terhadap persamaan setiap warga negara disisi hukum. Jangan sampai hukum itu hanya tajam kebawah, namun tumpul keatas. Pemisahan majelis dalam persidangan perkara ini harusnya tidak terjadi, sebab hal tersebut dapat memicu stigma negatif yang mencederai marwah pengadilan dimata masyarakat. Bisa saja hal ini dianggap sebagai cara kotor terdakwa untuk dapat mempengaruhi putusan hakim”, urainya.
” Kita juga berharap agar Ketua Pengadilan Negeri Medan dapat meninjau kembali pemisahan majelis dalam sidang perkara ini, beliau harus dapat memberi penjelasan mengapa proses persidangan perkara ini terpisah. Masyarakat juga memiliki peran untuk menyoroti hal ini, bila perlu proses sidang perkara ini diawasi oleh komisi yudisial “, tutupnya. (Dst)