Lidikcyber.com, Medan – Peristiwa berdarah sumtara timur 03 mar 1946 banyak korban nyawa, bahkan mencapai ribuan orang yang tak bersalah dibunuh dengan cara disembelih secara kejam.Namun, untuk menutupi peristiwa tersebut, para pelaku berusaha mengkaburkan peristiwa ini dengan segala cara untuk membungkam suara para kerabat keluarga yang menjadi korban.Dalam Peristiwa ini, bukan hanya terjadi di sumatra timur, tapi juga ada dibeberapa bagian daerah lain dinusantara dengan rentang waktu yang berbeda.Tujuan para pelaku sebenarnya merampok harta – harta milik kerajaan dan kesultanan juga melakukan pemerkosaan terhadapa kerabat kesultanan yang ada disumatra timur waktu itu.Peristiwa diawali dari kesultanan langkat yang cukup makmur karena memiliki ladang minyak mentah terbesar nomor tiga (3) didunia ditemukan tahun 1883 oleh orang eropa berkebangsaan jerman.
Para pelaku yang menamakan dirinya laskar – laskar dengan berbagai nama yang tergabung dalam Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) berfaham kiri, bergerak tepat pada Minggu, 03 maret 1946 pukul 0.00 wib secara serentak diseluruh kesultanan sumatra timur dengan sangat rapi terstruktur dan masif.peristiwa tersebut juga tidak terlepas dari penghianat orang dalam kesultanan yang ingin memiliki harta kesultanan dan tanah – tanahnya, dendam pribadi ikut membonceng di dalam peristiwa kelam ini.Diketahui, untuk kesultanan langkat keterlibatan abdi dalam bernama Marwan yang merupakan pelatih silat kuntauw kesultanan bekerja sama bersama rekannya Usman Parinduri dan Yanwijaya dibantu oleh lanskar – laskar yang tergabung, sangat beringas melakukan pembunuhan, pemerkoasaan, dan pembakaran istana kesultanan langkat.
Tengku Amir Hamzah bergelar pangeran Langkat hulu (Pahlawan Nasional) yang ikut menjadi korban peristiwa tersebut sempat membuat puisi sewaktu didalam tahanan menunggu waktu untuk dipenggal,” wahai maut, datanglah engkau, lepaskan aku dari nestapa.Pada mu lagi tempatku berpaut, disaat gelap gulita” potongan puisi Amir Hamzah.Usman Parinduri menyeret Tengku Amir Hamzah dan disiksa serta disuruh menggali lobang sendiri sebelum dipenggal diperkebunan yang dikuasai oleh faksi komunis di Kwala Begumit sekitar 10 kilometer diluar kota Binjai.Usman Parinduri (35) kala itu adalah mandor kesayangan kesultanan Langkat.
Tengku Amir Hamzah sempat mengeyam pendidikan di Algemene Middelbare School (AMS) disurakarta, tahun 1930.Kontribusi Tengku Amir Hamza dalam menyatukan kesultana untuk mendukung Republik Indonesia dengan itikad bersama untuk berdiri teguh dibelakagn presiden turut menegakkan memperkokoh Republik Indonesia.Kerangka jenazah Tengku Amir Hamzah diangkat dari kwala begumit dan dimakamkan dimasjid Azizi Tanjung Pura Langkat tahun 1949.
Selanjudnya, Kesultanan Deli, Serdang, Batu Bara, Asahan, Panai, Kualuh (Labura), Kota Pinang (Labusel), Simalungun dan Karo juga mengalami nasib yang sama, kerabat keluarga raja dan kesultanan serta orang – orang melayu bergelar Tengku, Datuk, Wan, Ok, terus diburu.Massa itu tidak ada jaminan keselamatan, huru – hara terjadi dimana – mana, saudara bisa menjadi musuh, begitu juga tetangga dan kerabat keluarga sendiri, karena menyelamatkan diri sendiri, ketakutan terjadi dimana, rasa lapar dikalahkan rasa takut, sebagian menyelamatkan diri kedalam hutan yang tebal hanya berbekal pakaina dibadan, walau pun menyelamatkan diri kedalam hutan yang tebal bukan lah menjadi jamin untuk selamat, ada juga yang diterkam binatang buas didalam hutan.Cara lain untuk menyelamatkan diri dengan mengubah identitas, bernama jawa dan memakai marga saat itu, tidak mengakui sebagai orang melayu.
Allahyarhamu Tengku Muhammad Yasir yang akrab dipanggil “ayah” Cucu Sultan Asahan yang ke 10 lolos dari pemenggalan di Desa Sei Londir Kabupaten Asahan, sebelum berpulang Bulan feruari 2019 lalu, sempat menuturkan dibeberapa media, saat peristiwa tersebut berjalan menjelang subuh, Istana kesultanan Asahan diserang, sekelompok orang mengendap – endap mendekati istana kesultanan terlihat dari depan Istana Kota Raja Indra Sakti yang terhampar rumputan hijau yang luas, setelah azan subuh berkumandang, sekelompok orang melakukan penyerangan kedalam istana, semua kerabat keluarga kesultana ditangkapi, Sultan Sha’ibun Abdul Jalil Rahmadsyah berhasil melarikan diri dari istana melalui pintu belakang menuju sungai dan lari kedalam hutan, belakangan diselamatkan oleh sedadu Jepang (Nippon) yang sudah kalah perang dunia ke II.
selanjudnya, sultan diungsikan ke kota pematang siantar dan terakhir dipindahkan kemedan sampai akhir hayatnya, setelah semua ditangkapi, dikumpulakan di vorlksfront dan Javaschebank, bekas bank belanda yang berada di Jalan Asahan kota Tanjung Balai sekarang.Setelah pendataan dilakukan, Laki – laki, prempuan dan anak – anak dipisah.Para Kaum lelaki kerabat keluarga kesultanan dibawa ke Sei Londir untuk dijalankan Pemenggalan.
“waktu itu umur ayah 15 tahun lah, sedang sakit kaki, jadi pada masa itu yang ada obat berwarna kuning, obat itu bau, setelah ditangkap, semua dikumpulkan di Vorlksfront dan ada juga dikisaran, kalau diterjemahkan vorlksfront itu benteng rakyat, pengadilan rakyat lah kira – kira begitu, sempat ditanya, apa salah kami, oh mau diperiksa, jadi karena bau obat itu, “ah bau kau pergi kau pulang” katanya. Setelah ayah pulang, satu persatu rumah saudara ayah datangi, tapi semua sudah kosong tidak ada siapa pun, sebelum semua dibawa ke seberang Sei Londir didata dulu di Javaschebank, lalu tangan mereka di ikat, di Sei Londir dikumpulkan dalam sekolah rakyat (SR), semua pemenggal sudah pada mabuk, menurut keterangan yang sudah pulang dari sana, disana lah semua dipenggal dibelakang sekolah itu”.ungkap yasir.
Pemuka Lembaga Adat Melayu (LAM), Alamsyah Putra (40) Kabupaten Asahan sewaktu di wawancarai awak media di kediamannya kelurahan Siumbut – umbut, Kecamatan Kisaran Timur, Kabupaten Asahan menerangkan, keluarganya juga terkorban dalam revolusi sesosial tersebut, yang selamat dari peristiwa itu mengalami trauma yang sangat dalam, kalau mereka diajak bicara tentang peristiwa itu mereka tutup mulut karena kengerian peristiwa tersebut belum bisa mereka lupakan.Kalau untuk tempat bekas peristiwa pemenggalan, selain di Desa Sei Londir itu, ada juga yang di simpang empat sumur besar didalam Afdeling IV Perkebunan Sei Dadap PT.PN III, Kacamatan Simpang Empat dan di areal perkebunan PT.BSP Bunut Seberang Kisaran, Kabupaten Asahan, makam tunggal korban revolusi sosial.Beberapa tahun lalu kerangka jasad keluarga didalam sumur mau diangkat, tapi dari salah satu keluarga yang terkorban ada yang tidak terima kerangka itu diangkat, sempat terjadi ketegangan dilokasi waktu dilakukan pengangkatan, karena pendapatnya mengingatkan luka lama peristiwa itu.
“iya sumur itu sudah sempat kami kuras, tapi waktu mau dilakukan penggalian mengeluarkan tanah yang ada didalam sumur, terjadi kesalah pahaman dengan salah satu keluarga menjadi korban disitu datang kelokasi, warga juga banyak yang hadir untuk menyaksikan pengakatan kerangka korban keluarga kami.Tujuan bukan untuk membuka luka lama tapi untuk meyempurnakan kerangka jenazah keluarga yang mejadi korban.Memang terkait peristiwa tidak terlepas dari keterlibatan orang kita juga yang menyimpan dendam pribadi dan ketamakan”.tutupnya.
Fahrurrozi (55) mantan kepala Desa Sei Londir priode tahun lalu, juga menyampaikan hal yang sama, sewaktu pengangkatan kerangka jenazah kerabat keluarga kesultanan Asahan korban Revsos 46 didesanya, sempat terjadi kesalah fahaman, tidak tau dari mana fitnah itu dihembuskan ke mereka.
“Waktu kerabat keluarga kesultana Asahan mengangkat kerangka jenazah dari belakang SD itu tahun 2008 lalu, sempat terjadi ketegangan, isu yang berkembang, masyarakat disini dituduh terlibat peristiwa itu, situasi sempat memanas.Dulu sebenarnya bukan mau disini dijalankan mereka eksekusi nya, tapi mau dibawa kelaut, karena ada masyarakat disini juga mau dieksekusi, makanya masyarakat meminta disini dijalankan tujuan nya agar tidak hilang begitu saja, sempat saya punya niat mau membuat monumen peristiwa sejarah itu disini supaya orang tau ada sejarah kelam di desa kami ini ketika orang melewatinya.Panglima Nawi itu abdi kesultanan Asahan, lihat nanti dinisan depan masjid Raya Sultan Ahmadsyah, pasti ada nama dia disitu.ya kecewa juga lah kami saat pengangkatan kerangka jenazah waktu itu, yang pasti ada orang yang menyebarkan fitnah itu ke kami disini” tutup Rozi.
Seterusnya, untuk Simalungun dan Tanah Karo juga tidak jauh berbeda mengalami hal yang sama, Raja dan kerabat keluarga juga menjadi korban peristiwa itu.Hampir tidak ada catatan signifikan tentang korban disana banyak yang tidak tercatatkan, sedangkan untuk Tanjung Balai dan Asahan lebih kurang 1.200 orang nyawanya dicabut paksa.
Tan Malaka, satu – satunya yang mewakili tokoh indonesia jaringan komunis internasional (komitren) untuk asia tenggara berpusat di Bangkok, yang mengobarkan isu dan membuat gerakan serentak yang dinamai gerakan Antiswapraja dikota besar yang ada disumatra timur dan nusantra waktu itu sangat bertanggung jawab atas peristiwa revolusi sosial.Selasa, (05 mar 1946) Wakil Gubernur Sumatra Dr.Amir mengeluarkan pengumuman mengangkat M.Yunus Nasution sebagai residen sumtra timur, sedangkan Mr.Luat Siregar sebagai juru damai (pacifikator) untuk meminimalisir korban revolusi sosial, semua akal busuk loyalis berfaham kiri.Propaganda yang mereka lakukan untuk memuluskan perjuangan mengatas namakan rakyat, membabat habis kerabat kesultanan Asahan, Daulat tuanku diganti dengan kedaulatan rakyat untuk menghancurkan benteng fioudalisme dan menghapus otonomi kekuasan sultan, fitnah yang sangat keji, adu domba, teror, berhasil dihembuskan hingga kini, sebagian orang masih mempercayainya.Tan Malaka sendiri dieksekusi mati tahun 1949 di wilayah gunung wilis Kediri Jawa Timur.
Demi untuk mempersatukan dan menyatukan kembali ketiga etnis tersebut dengan istilah (Simekar) Sumatra timur yang telah menjadi korban dalam peristiwa tersebut, Datuk Muhammad Arifin, Ok Rian Arrafa mengagas pertemuan, dengan tema ” Mengenang Revolusi Sosial 03 Maret 1946″ , dihadiri oleh para bangsawan Melayu, saudara dari Simalungun, Karo dan beberapa awak media di Cafe Mendai kompleks halaman Istana Maimun, Kamis (03/03/23) pukul 20.00 wib secara sedehana.
Hal ini disampaikan langsung oleh OK Rian Affara dalam acara tersebut.
“Kita harus menyatukan kembali seperti sedia kala antara suku Simalungun, Melayu dan Karo dan beberapa keluarga dari suku lain yang sudah menyatakan dirinya perduli bagian dari masyarakat Simekar di Sumatera Timur apalagi peristiwa 3 Maret 1946 itu, selain menimpa kepada para bangsawan ke tiga suku ini, keluarganya jadi korban sebagai pengikut setia,” jelasnya
“Kita harus buat Media Pemersatu dulu seperti FB, Blog pot, website, maupun cetak, bila perlu dibuat Forum Pemersatu Simekar dan siapapun boleh terlibat disini walau dari suku manapun yang penting tetap membesarkan Simekar, karena kita butuh Tim yang solid untuk membesarkan Simekar” tegasnya.
Revolusi Sosial juga terjadi diluar Sumatra timur, Kraton Surakarta, Kraton Mangkunegara dan susuhunan juga mengalami penyerangan dari golongan berpaham kiri sejak Oktober 1945 dan yang terkahir Kesultanan Bulungan di kalbar tahun 1964, juga mengalami nasib yang sama persis dengan disumatra timur yang dilakukan oleh Oknum TNI berfaham kiri masa itu.Pentingnya peristiwa Revolusi Sosial Sumatra Timur untuk di kenang agar Generasi Bangsa yang akan datang mengetahui sejarah kelam perjalanan kemerdekaan Bangsa yang dipenuhi genangan dan tetesan darah.Generasi penerus Bangsa agar tetap selalu waspada setiap ancaman terhadap Sangsaka Merah Putih.(@R/red)
Sumber : Banjir Darah. (2015)
Kerabat korban revsos.(1946)
Pegawai Jalanan
Lentera timur