Sejarah PerjuanganTanah Asahan Hasil Genangan Darah

0 0
Read Time:5 Minute, 4 Second

 

Lidikcyber.com, Medan – Sumatera Timur menjadi wilayah jajahan Belanda secara penuh setelah adanya kesepakatan politik dengan Siak. Kesepakatan itu dikenal dengan sebutan Traktaat Siak yang disetujui pada tanggal (1 Februari 1858). Kemudian pada bulan Mei 1862 Residen Riau E. Netscher mengirim utusannya yaitu Raja Burhanuddin untuk mengunjungi negeri-negeri jajahan Siak.

Setelah menerima laporan Raja Burhanuddin, maka pada 2 Agustus 1862 dengan menggunakan kapal Reiner Claasen Residen Netscher bertolak dari Bengkalis menuju kesultanan – kesultanan yang ada di Sumatera Timur, dan tiba di Deli pada 21 Agustus 1862. Sultan Serdang, yaitu Sultan Basyaruddin dan Sultan Asahan Ahmadsyah, dengan dukungan Aceh menolak untuk tunduk di bawah kekuasaan Belanda, sehingga terjadi peperangan pada tahun 1865. Sejarah ini diangkat penulis untuk mengenang perjuangan tanah masyarakat Asahan, diambil dari beberapa sumber, Senin (25/12/23).

Perjuangan Sultan Ahmadsyah bermula ketika Belanda ingin menguasai negeri-negeri jajahan Siak di Sumatera Timur pada tahun 1862. Namun, proses penaklukan tersebut nampaknya tidak berjalan dengan mulus. Sultan Ahmadsyah yang merupakan Sultan Asahan menolak untuk tunduk mengakui kekuasaan Belanda. Salah satu bentuk dari penolakan Sultan Ahmadsyah menentang kekuasaan Belanda terjadi pada tahun, 1862 disaat Netscher yang merupakan Residen Riau mengundang Sultan Ahmadsyah untuk berunding diatas kapal. Tapi Sultan Ahmadsyah menolak dengan tegas untuk naik ke atas kapal tersebut. Sultan Ahmadsyah kalah kekuatan dan banyak korban berjatuhan akhirnya tertangkap diasing kan ke bengkalis, kendati demikian, perlawanan terhadap belanda terus dijalankan oleh pendukung sultan.

Perjuangan dilanjudkan gerilyawan suku Batak dipimpin oleh Pak Netek selaku Raja Bandar pulau terhadap belanda. Sultan Asahan ke 9 Ahmadsyah memerintah (1859 – 1888) akhirnya mau menandatangani surat keputusan bersama (besluit) tentang pembukaan Afdeling perkebunan karena tidak mau ada lagi korban.

Secara resmi, Kesultanan Asahan tunduk di bawah kekuasaan Kolonial Belanda yang diawali dengan adanya Besluit Gubernur Jendral No. 1 tanggal 25 Agustus 1865 setelah kalah perang dengan belanda.

Melalui Besluit Gubernur No. 2 Tahun 1867 tanggal 30 November 1867, Belanda kemudian membentuk Afdeling Asahan yang terdiri dari beberapa onder-afdeling yaitu Onder-Afdeling Batu Bara, Onder-Afdeling Asahan, serta Onder-Afdeling Labuhan Batu. Afdeling ini dipimpin oleh asisten residen yang berkedudukan di Tanjung Balai.

Foto : Makam – makam Asisten Residen eropa.

Sedangkan untuk wilayah Afdeling Asahan, dalam pemetaan belanda seluas 1200 kilometer dan secara astronomis terletak 30 27’ sampai dengan 10 40’ lintang utara dan 1000 27’ sampai dengan 990 9’ Bujur timur. Batas Afeling asahan sebelah utara berbatas dengan selat malaka, sebelah timur berbatas dengan afdeling bengkalis, sebelah selatan berbatas dengan kresidenan Tapanuli, sebelah barat berbatas dengan afdeling Simalungun, Tanah Karo dan Deli serdang.

Dengan berjalan nya afdeling perkebunan Asahan dikelola oleh perusahaan eropa seperti Hollandsch Amerikasche Plantage Matschappij (H.A.P.M), perusahaan Goodyear Wingfoot mengangkut hasil perkebunannya (karet) serta yang lain. Maka banyak membutuh kan perkerja karena tenaga warga lokal melayu dan Batak tidak mencukupi. Pihak belanda mendatangkan pekerja kontrak dari luar wilayah, Keragaman populasi semakin meningkat dengan adanya orang-orang Eropa, Tamil, Cina, Jawa, Bali, Sunda, Banjar, Mandailing, dan Minangkabau.

Foto : Pure Bali di Asahan

Dari data sensus penduduk tahun 1930, Pribumi 308,912, eropa 1.361, Cina 23.975, Campuran Asing 1.767, dengan jumlah penduduk saat itu sekitar 336.015 orang.

Berjalan nya waktu Afdeling Asahan sempat morat – marit disebabkan perang dunia kedua dan pemerintahan jepang tahun 1942. Setelah jepang kalah perang 1945 dengan sekutu, maka afdeling kebali dikuasai oleh belanda. Tapi peristiwa berdarah Revolusi Sosial penghapusan Monarki kesultanan dan puak melayu oleh kaum kiri foksfron dan pesindo dengan laskar – laskarnya, banyak pekerja kebun yang setia kepada sultan, di bunuh oleh kaum kiri saat itu. Maka tanah perkebunan afdeling Asahan kembali dibanjiri darah rakyat.

Lahan perkebunan kembali menjadi rebutan dan banyak jiwa yang terkorban. Isu fitnah antek belanda yang disebarkan dimasyarakat oleh orang – orang pembenci kesultanan membuat pendatang turut andil dalam peristiwa itu, sehingga tanah Asahan menjadi rebutan dengan genangan darah.

Foto : Makam Pekerja kebun korban revsos 1946

Sumber, dari ahli waris kesultanan pernah menyampaikan kepada penulis tentang tanah Asahan yang bertuah penuh banjir darah diperebutkan masa Penjajahan dan Revolusi sosila banyak keluarga dibunuh tanpa kesalahan yang jelas untuk merampas harta benda dan tanah mereka. Keluarga, sahabat, tetangga dan teman menjadi musuh yang nyata kala itu dan tidak ada keadilan. Penghilangan nyawa seseorang begitu mudah kala itu. Karena belum ada penegak hukum, ada pun TKR yang terbatas kekuatannya saat itu.

” Kalau secara alas hak tanah dengan surat ukur belanda masa itu jelas, sampai sekarang tetap tersimpan dengan rapi dan tersusun secara No surat ukur dan tahun terbitannya. Kalau surat ukur terakhir itu tahun 1940 tidak ada lagi diatasnya, ada pun muncul tahun diatas itu 1941 itu palsu, untuk asahan ya.

“Kalau yang saya pegang ini kan softcopy nya sebagai pegangan, kalau aslinya masih dibelanda. Memang pernah ahli waris dihimbau untuk mengambil aslinya kebelanda dengan membawa surat tanda tangan seluruh ahli waris, kami tak berani mengambilnya. Karena keluarga trauma dengan pembunuhan itu, biarlah disana lebih aman dan kami pun aman.

” Wilayah mana di Asahan yang mau awak lihat surat ukurnya, nah ini dia lihat tahun dan No surat ukurnya”tutup sumber dengan menunjukan softcopy surat tanah yang ada dalam koper nya puluhan lembar, Senin (20/07/20).

Setelah Era kemerdekaan, dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 “ Bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar – besarnya kemakmuran rakyat. Sebagai dasar negara menguasai untuk mengelola tanah dan diperjelas dalam Undang – undang Pokok Agraria (UUPA), yang mengatur secara mekanisme pengelolaan tentang tanah dalam penguasan negara.

UUPA menuangkan tentang beberapa status alas hak tanah sudah tidak berlaku lagi. Begitu juga dalam permentan No 39 tahun 2013 dan No18 tahun 2021, mengatur tatacara pemberian dan memfasislitasi lahan Plasma 20% tersebut.

Pemerintah jangan lupa bagaimana rakyat berjuang untuk bumi pertiwi menumpahkan darah demi mengusir penjajah dari tanah Asahan. Hilang nya rasa keadilan akan menyebabkan hukum tidak berjalan serta bisa menghilangkan rasa jiwa nasionalis pada rakyat, pemerintah harus jeli melihat setiap konflik tanah dimasyarakat, Khususnya diAsahan.(tim/red)

Penulis : Ahyar.P

Editor : Afdal S.T

Historical feature

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You cannot copy content of this page